KEGIATAN

Work Shop Petani Hutan Sejawa ; Biarkan Rakyat Mengelola Hutan !!


Melung,26/11/2008 - Perdebatan semakin memanas pada hari kedua workshop petani hutan se Jawa di Desa Melung, Banyumas 25 – 28 November 2008. Sebelumnya acara ini dibuka oleh Sekretaris Dinas Kehutanan Kabupaten Banyumas Bp. Sungkono. Yang kemudian dilanjutkan dengan seminar yang menghadirkan Andri Santoso dari KPKK  dan Khusnul Zaeni dari Telapak.
Dalam sambutan Bupati Banyumas yang diwakili oleh Bp. Sungkono selaku Sekertaris Dinas Kehutanan Kabupaten Banyumas menuturkan luas hutan berdasarkan data dari Badan Perencanaan Departemen Kehutanan pada tahun 2004 mencapai 120,35 Juta Ha yang terbagi atas Hutan Konservasi (23,24 juta Ha), Hutan Lindung (29,7 juta Ha), Hutan Produksi terbatas (16,21 juta Ha), Hutan Produksi (27,74 juta Ha), Hutan Produksi yang dapat dikonversi (13,67 Juta Ha).  Fungsi utama pengelolaan hutan pada aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya sering mengalami kendala. Guna memperoleh Devisa negara pada aspek ekonomi kurang memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Konfik yang terjadi atas rusaknya sumber daya hutan masyarakatlah yang sering dipersalahkan.
Beberapa permasalahan yang diurai pada hari kedua ini adalah mengenai maraknya konflik yang terjadi di masyarakat sekitar hutan. Konflik – konflik yang ada di masyarakat tepian hutan tersebut muncul karena terbatasnya akses masyarakat terhadap hutan. " Diawali dari klaim perhutani atas tanah – tanah milik masyarakat maka semenjak itu konflik agraria dilahan-lahan tersebut mulai mengemuka, "Ujar Nana Rukmana dari Serikat Petani Pasundan (SPP).
Semakin meningkatnya kebutuhan dan ketimpangan ekonomi mendorong masyarakat untuk bisa mengelola lahan yang dikuasai Perhutani.  Masyarakat pasundan bisa  mereklaiming 278 ha tanah Perhutani.  Untuk ditanami dengan berbabagai tanaman sayuran, pete jengkol, duren. dll. " Atas kegiatan itu akibatnya banyak masyarakat yang kemudian diancam oleh aparat Perhutani," tambahnya.
Penjarahan besar-besaran yang terjadi pada tahun 1998/1999 terjadi bukan karena semata mata kesalahan masyarakat. Itu terjadi karena perhutani sangat membatasi akses masyarakat ke hutan dan banyaknya lahan lahan adat yang diklaim milik Perhutani. "Dengan adanya penjarahan maka masyarakat bisa mengelola lahan di tanah Perhutani," tambah Mulyono dari FPPK Kendal. 
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan perumusan strategi untuk memperkuat gerakan – gerakan di masing - masing organisasi, yang rencananya akan di bahas dalam rapat pleno  esok harinya. (Pager Gunung)