Sugeng Rawuh - Selamat Datang - Welcome

Masyarakat yang hidup di pinggir hutan seringkali dituding sebagai pelaku perusakan hutan. Padahal mereka rata-rata petani miskin yang kesehariannya bergulat memenuhi kebutuhan hidup dari lahan yang sangat sempit, kurangnya pengetahuan dan pendidikan serta ketiadaan permodalan. Tidak pernah sekalipun terfikir untuk merusak alam yang selama ini menjadi gantungan hidup. Bahkan jika dilihat secara jujur, masyarakat pinggir hutan-lah yang selama ini menyumbang sangat besar terhadap pemeliharaan hutan, tanpa pernah menerima hasil jerih payah yang telah dikeluarkan.

Berangkat dari rasa keprihatinan dan tanggung jawab terhadap hutan agar dapat dinikmati anak cucu kita, maka pada 3 Pebruari 2005 dibentuk sebuah wadah Paguyuban Gerakan Rakyat Gunung - PAGER GUNUNG.

Selasa, 07 Desember 2010

MEMBANGUN DESA ORGANIK

Proses Panjang Perjuangan Petani Melung

Kemandirian merupakan kunci kesejahteraan petani, meliputi penguasaan teknologi tepat guna, pengadaan sarana pertanian seperti pupuk dan obat-obatan serta pemasaran.  Bagi petani, bertani secara organik adalah kunci untuk mewujudkan kemandirian yang berarti mencapai kesejahteraan.

Pemikiran inilah yang melandasi munculnya cita-cita untuk membangun Desa Organik.  Dipimpin langsung oleh Kades Melung Budi Satrio, masyarakat digerakkan untuk secara bertahap merubah pola tanam konvensional menjadi organik.

Memang tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan untuk bertani organik.  Hampir semua petani sudah tidak lagi percaya diri bahwa dengan membuat pupuk sendiri, membuat pestisida nabati sendiri akan mampu mendapatkan hasil yang bagus. Selama puluhan tahun, para petani sudah dikondisikan bergantung dengan pupuk dan pestisida kimia yang semua itu butuh modal yang tidak sedikit.

Kegiatan bertani organik dimulai sejak 2004 oleh Kades, istri beserta kerabat sendiri di pekarangan rumah.  Dengan hasil yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur sendiri.

Kemudian datang Subekti, seorang lulusan Biologi UNSOED yang telah mendedikasikan cita-citanya untuk menjadi petani mandiri.  Beberapa tahun kegiatan ini tidak mendapat respon hingga akhirnya secara perlahan pemahaman masyarakat mulai dapat menerima konsep bertani organik.

Pada awal Nopember 2009 lalu, Melung mendapat kucuran program untuk meningkatkan kegiatan pertanian organik ini.  Hanya dengan modal 70 juta rupiah, dibangun sebuah green house di lahan desa dan membuat lahan contoh seluas 2 hektar.

Dengan efisiensi yang sangat ketat karena minimnya dana, pengusahaan kebun sayur organik ini dilaksanakan secara gotong royong oleh anggota Pager Gunung.  Hal yang paling berat adalah aspek pemasaran karena kota terdekat adalah Purwokerto, notabene kota kecil yang belum siap menerima sayur organik karena dianggap lebih mahal.

Dengan memberanikan diri, Pager Gunung meloby manajer RITA, salah satu swalayan terkemuka di Purwokerto agar menerima sayur organik dari Pager Gunung dan diizinkan.  Omset yang tidak menentu dan belum siapnya pasar membuat sayuran seringkali kembali dalam kondisi sudah layu atau membusuk.

Akan tetapi hal tersebut tidak membuat patah arang.  Dengan berbagai upaya sosialisasi di sekitar outlet Pager Gunung tentang perlunya hidup sehat dan mengkonsumsi makanan yang bebas kimia, lambat laun omset semakin naik.  Sayur yang dipajang seringkali habis tak tersisa.

Dalam kurun 6 bulan sejak dipasarkan, Pager Gunung sudah memiliki omzet 200 ribu setiap harinya dan meningkat secara nyata.

Selain memasarkan sayur organik, Pager Gunung juga mulai memprogramkan  wisata pertanian dengan mengundang berbagai pihak terutama sektor Pendidikan Dasar.  Konsep wisata ini selain sebagai refreshing para siswa SD, juga sebagai bagian dari pendidikan lingkungan dan mendidik gaya hidup sehat sedari kecil.  Meski masih terkesan asing, wisatawan sudah mulai sering mengunjungi kebun organik Pager Gunung.

Ujian tidak berhenti sampai disitu.  Menjelang lebaran tahun 2010, angin puting beliung melanda sebagian lereng selatan Gunung Slamet dan memporakporandakan Green House yang sudah terbangun dengan jerih payah masyarakat.  Kerugian hampir 5 juta karena atap green house hanya terbuat dari lembaran plastik yang mudah robek terkena beliung.

Selain kerusakan green house, banyak sayuran yang mati lanas akibat curah hujan yang sangat tinggi.
Akan tetapi itupun tidak menyurutkan langkah untuk tetap berpegang pada cita-cita membangun desa organik.

Dengan gotong royong pula, kerusakan dibenahi dan penanaman kebun sayur organik dimulai lagi dari awal.
Saat ini, meskipun sisa dari kerusakan tersebut belum terbenahi seluruhnya, kebun sayur sudah kembali beroperasi dengan lancar.  Bahkan, masyarakat Melung sudah mulai memanfaatkan pekarangan masing-masing untuk bertanam sayur untuk menutup kuota yang masih belum mampu dipenuhi dari kebun Pager Gunung.

Harapan semua masyarakat, dengan meningkatnya produksi sayur organik Desa Melung, semakin meningkat pula kesadaran masyarakat untuk bertani secara mandiri dan terbebas dari ketergantungan pupuk dan obat-obatan kimia.

Harga yang masih di atas sayur berpestisida, sebenarnya lebih merupakan penghargaan atas upaya penyelamatan lingkungan hidup dan upaya menyehatkan masyarakat.  Kesemuanya itu tidak seimbang jika dibandingkan dengan biaya pengobatan yang muncul akibat tumpukan residu kimia dalam jaringan tubuh sehingga berbagai penyakit seperti kanker mudah menjangkit.

Semoga impian masyarakat Desa Melung untuk menjadi petani mandiri akan segera terwujud.  Peran berbagai pihak terutama masyarakat konsumen sayur organik sangat kami butuhkan.

Mari secara gotong royong mewujudkan kesejahteraan petani sekaligus mewujudkan masyarakat yang sehat, terbebas dari racun pestisida (*).

KEBUN BIBIT RAKYAT

Membangun Kemandirian Kehutanan

Untuk mewujudkan visi sebagai desa mandiri dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, Pager Gunung dengan dukungan Pemerintah Kabupaten melaksanakan program Kebun Bibit Rakyat.
Program ini bertujuan untuk mengelola kebun bibit tanaman kehutanan di lahan milik secara mandiri dengan mempertimbangkan bentang alam desa Melung serta keragaman tanaman yang ada.

Sebagai Desa yang peduli dengan regenerasi angkatan muda, maka program KBR ini juga dijadikan media untuk mendidik pemuda Melung untuk menjadi kader pemuda cinta lingkungan.  Keterlibatan angkatan muda dalam program ini sangat tinggi, dengan harapan pada saat memasuki usia dewasa mereka menjadi generasi yang siap untuk melestarikan kawasan hutan Gunung Slamet.

Program ini dimulai pada bulan Agustus 2010, diawali dengan penyusunan Rencana Kelola Hutan Rakyat.  Proses ini murni partisipasi warga mulai dari tingkat RT dan tersentralisasi hingga tingkat Desa Melung.
Pada perencanaan, masyarakat memetakan bentang alam di masing-masing wilayah dari mulai deskripsi medan, kerapatan tanaman hingga jenis yang ada.

Kemudian dengan musyawarah, ditentukan jenis-jenis apa saja yang akan diusahakan dalam kegiatan pembibitan.  Dasar penentuan dilakukan dengan mempertimbangkan kecocokan lahan, tingkat kemiringan dan keragaman jenis.

Lahan yang berada di pinggir sungai direncanakan ditanami dengan tanaman yang banyak menyimpan air seperti pule dan pucung. Sedangkan lahan yang produktif ditanami dengan tanaman hutan yang nilai ekonomisnya bagus, seperti cengkeh, kopi dan tanaman hasil kayu seperti albasia, jambon dan mahoni.

Warga juga sepakat untuk menanami lahannya dengan beragam jenis agar lahan milik mereka agar kawasan hutan di Desa Melung dapat juga menjadi habitat yang nyaman bagi berbagai jenis satwa seperti burung, jelarang dan monyet(*).

GERAKAN PEMUDA CINTA HUTAN

Letak yang berada persis di lereng selatan gunung Slamet, membuat Pager Gunung tergerak untuk secara aktif melakukan upaya pelestarian hutan secara mandiri.  Warga Desa Melung tidak menggantungkan begitu saja pelestarian hutan kepada Pemerintah.

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan yaitu reboisasi daerah bantaran Sungai Wangan Wali sepanjang 3 KM yang berhulu di atas bukit Cendana pada bulan Juni 2009.  Kegiatan ini merupakan inisiatif para pemuda di bawah koordinasi Pager Gunung, wujud kepedulian pemuda terhadap fungsi hutan sebagai penyedia kebutuhan air bagi masyarakat.

Wangan Wali merupakan sungai kecil yang berfungsi vital bagi masyarakat desa Melung untuk konsumsi sekaligus pengairan sawah dan pengusahaan peternakan rakyat.

Sebelum kegiatan penanaman dimulai, dilakukan diskusi yang menghadirkan para pemangku kebijakan seperti DPRD Banyumas, Dinas Kehutanan, Perhutani, LSM dan para Pecinta Alam se-Banyumas.  Hadir pula para calon legislatif yang akan mengikuti pemilu 2009.

Dalam diskusi ini, digalang dukungan bagi masyarakat pinggir hutan untuk secara mandiri menjaga dan mengelola hutan di sekitarnya.  Disimpulkan, sejarah telah membuktikan bahwa peran swadaya masyarakat-lah yang memberikan kontribusi terbesar dalam pengelolaan hutan.

Tanpa masyarakat, hutan di Indonesia sudah akan hilang.  Terbukti ketika hutan diserahkan kepada perusahaan besar, maka semakin banyak wilayah hutan yang hilang tanpa ada upaya nyata pemulihan hutan.
Para undangan yang hadir datang dengan membawa sumbangan pohon yang beraneka ragam seperti Cendana, Jenitri, dan berbagai tanaman kayu(*).

Jumat, 03 Desember 2010

BUDIDAYA JAMUR KUPING

Bulan November ini Pager Gunung didukung oleh Fakultas Biologi UNSOED mengadakan pelatihan budidaya Jamur Kuping.

Diharapkan dari pelatihan ini, program pertanian organik yang sudah berjalan baik di Desa Melung Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas ini menjadi semakin berhasil dengan bertambahnya komoditas yang dihasilkan masyarakat dan meluasnya pasar konsumen pertanian organik.

Usaha jamur merupakan usaha yang mulai naik daun akhir-akhir ini karena masyarakat sudah mulai dapat menerima jamur sebagai salah satu konsumsi mereka.  Selain rasa yang enak, jamur memiliki nilai gizi yang sangat baik.

Selama ini, budidaya jamur yang memasyarakat baru jamur Tiram Putih karena selain budidaya yang mudah, produk makanan yang bissa dibuat dari jamur Tiram Putih sangat beragam.

Akan tetapi, karena yang membudidayakan jamur Tiram Putih sangat banyak, lambat laun harganya semakin menurun karena serapan masyarakat belum meningkat.  Hal tersebut yang mendorong Pager Gunung untuk memfasilitasi masyarakat melirik budidaya jamur kuping. 

Budidaya jamur kuping sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan jamur Tiram Putih.  Akan tetapi karena minimnya informasi yang diterima petani, maka jamur yang sering dihidangkan pada acara resepsi pernikahansebagai campuran sup ini kurang dibudidayakan oleh masyarakat umum.
Pager Gunung mendapat pelatihan langsung oleh Bapak Aries Mumpuni, seorang ahli jamur yang sehari-harinya berprofesi sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Biologi UNSOED.